Oleh : Asriyadi Tanama, S.H.
Advokat / Konsultan Hukum
Perselisihan Hubungan Industrial lahir dari adanya perbedaan dan pertentangan pendapat antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh mengenai perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pada banyak kasus, perselisihan hubungan industrial tersebut pada akhirnya bermuara pada gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai akibat dari tidak tercapainya kesepakatan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh. Namun demikian, tidak sedikit pula yang menghindari gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan melahirkan suatu kesepakatan dalam bentuk Perjanjian Bersama antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh. Karenanya, tulisan ini akan mengulas sedikit tentang Perjanjian Bersama dalam perselisihan hubungan Industrial.
Dalam hukum perdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu “a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak; b. Para pihak cakap dalam melakukan perbuatan hukum; c. Adanya suatu hal tertentu; dan d. Kausa yang halal”. syarat a dan b (Kesepakatan dan kecakapan para pihak) merupakan syarat subjektif. Sedangkan syarat c dan d (adanya objek perjanjian dan sebab yang halal) merupakan syarat objektif. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan atau voidable. Sedangkan apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut akan dianggap batal demi hukum atau null and void. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Perjanjian Bersama untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial harus dibuat oleh pihak-pihak yang berkompeten untuk menghindari cacatnya perjanjian.
Dalam perselisihan hubungan industrial, pengajuan gugatan ke PHI merupakan Ultimun Remedium setelah menempuh sarana penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah diatur dalam Undang-Undang sebagai Premium Remedium. Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2/2004), terdapat beberapa sarana penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara lain : “a. Penyelesaian Melalui Bipartit; b. Penyelesaian Melalui Mediasi; c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi; d. Penyelesaian Melalui Arbitrase:.
Apabila salah satu dari sarana penyelesaian perselisihan hubungan industrial yakni Bipartit atau Mediasi atau Konsiliasi menghasilkan kesepakatan, maka dibuat dalam bentuk Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut selanjutnya didaftarkan ke PHI untuk mendapatkan Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama yang memiliki sifat eksekutorial. Artinya bahwa apabila salah satu pihak tidak melaksanakan ketentuan dalam Perjanjian Bersama tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial (lihat Pasal 7, Pasal 13, Pasal 23 UU No. 2/2004).
Dalam beberapa kasus, kelalaian atas pelaksanaan Perjanjian Bersama tersebut justru berujung pada pengajuan gugatan ke PHI, Sehingga penting untuk melihat polarisasi Hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan Perjanjian Bersama. Karenanya, berikut akan diuraikan secara singkat tentang beberapa Putusan PHI yang berkaitan dengan Pelaksanaan Perjanjian Bersama khususnya Perjanjian Bersama dalam Perselisihan PHK antara lain :
- Putusan Nomor : 232/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg Jo. Putusan Nomor 545 K/Pdt.Sus-PHI/2016
Bermula dari PHK yang dilakukan oleh PT.UI (TERGUGAT) terhadap 3 (tiga) serikat pekerja/serikat buruh SPA FSPS PT.UI antara lain DF, DK dan (PARA PENGGUGAT). Atas PHK tersebut, pada tanggal 19 Januari 2015 Tergugat bersepakat untuk mepekerjakan kembali Para Penggugat di tempat semula yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama dan telah didaftarkan ke PHI pada Pengadilan Negeri Kls. IA Bandung dengan Nomor : 1727/BP/2015/PHI/PN.Bdg tanggal 28 Januari 2015. Subjek hukum dalam Perjanjian Bersama tersebut antara lain :
- K selaku HRD Manager PT. UI dan HW selaku Production Manager PT. UI bertindak untuk dan atas nama PT.UI sebagai Pihak Pertama
- DF selaku Ketua SPA FSPS PT.UI dan DK selaku sekretaris SPA FSPS PT.UI bertindak untuk dan atas nama SPA FSPS PT.UI sebagai Pihak Kedua
Pada tanggal 26 Januari 2015, Para Penggugat tidak dijinkan masuk oleh manager HRD dan Manager Produksi PT. UI karena sudah tidak ada tempat bagi Para Penggugat untuk bekerja dan Tergugat menyatakan akan memberikan pesangon sesuai Undang-undang yang berlaku. Pada tanggal 13 Februari 2015, Tergugat mengeluarkan Surat PHK yang ditandatangani oleh HRD Direktur. PHK tersebut kemudian bermuara pada gugatan ke PHI pada Pengadilan Negeri Kls. IA Bandung dengan tuntutan untuk mengakhiri hubungan kerja dan meminta hak-hak hukum Para Penggugat;
Atas gugatan tersebut, Tergugat mengajukan rekonvensi tentang Perjanjian Bersama dengan alasan bahwa :
- K selaku HRD Manager PT. UI dan HW selaku Production Manager PT. UI yang bertindak untuk dan atas nama PT.UI untuk melakukan perjanjian bersama tanpa disertai surat kuasa dan surat penunjukkan untuk mewakili PT. UI, sehingga secara Hukum tidak cakap untuk membuat perjanjian. Dengan demikian, Perjanjian Bersama tersebut cacat Subyek Hukum dan melanggar Undang-Undang UU Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Pasal 97 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 103;
- DF selaku Ketua SPA FSPS PT.UI dan DK selaku sekretaris SPA FSPS PT.UI bertindak untuk dan atas nama SPA FSPS PT.UI sebagai Pihak Kedua tanpa didukung surat kuasa.
- Perjanjian Bersama tersebut dilakukan dengan serangkaian paksaan dari Para Penggugat
Majelis Hakim kemudian memutuskan perkara tersebut berdasarkan Putusan Nomor : 232/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg. Dalam kaitannya dengan Perjanjian Bersama, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan:
“menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim alasan-alasan Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi untuk menuntut pembatalan Perjanjian Bersama dapat dibenarkan menurut hukum sebab berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 98 ayat (1) : “Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun diluar Pengadilan”, dan selanjutnya dalam Pasal 103 diatur : “Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa”.
Menimbang, bahwa oleh karena sdr. K dan HW tidak memiliki Surat Kuasa untuk mewakili Direktur PT.UI untuk membuat dan menandatangani Perjanjian Bersama tanggal 19 Pebruari 2015, maka K dan HW tidak memiliki kompetensi atau kecakapan untuk bertindak sebagai pihak dalam membuat Perjanjian Bersama tanggal 19 Pebruari 2015 , sehingga syarat ke-2 untuk sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak terpenuhi , karenanya perjanjian bersama tersebut dapat dinyatakan batal;
Selanjutnya, dalam Amar putusan Rekonpensi, Majelis hakim memutuskan :
“menyatakan perjanjian yang dibuat pada tanggal 19 Februari 2015 adalah demi hukum tidak mengikat Tergugat Konvensi (Penggugat rekonvensi) dengan Penggugat konvensi (Tergugat rekonvensi)”.
Para Penggugat kemudian mengajukan kasasi atas Putusan Nomor : 232/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg tersebut. Namun demikian, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 545 K/Pdt.Sus-PHI/2016 menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Penggugat tersebut.
- Putusan Nomor 55/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg Jo Putusan Nomor 36 K/Pdt.Sus-PHI/2017
Bermula dari adanya kesepakatan antara PT.BM (TERGUGAT) dan 10 (sepuluh) orang serikat pekerja/serikat buruh (PENGGUGAT) yang dituangkan dalam bentuk Perjanjian Bersama tertanggal 2 Oktober 2014 dan telah didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung. Salah satu poin dalam perjanjian Bersama tersebut adalah Penggugat akan dipekerjakan kembali paling lambat tanggal 6 Oktober 2014. namun hingga tanggal 21 April 2016, Tergugat belum memanggil Penggugat untuk dipekerjakan kembali sehingga berujung pada pengajuan gugatan ke PHI pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung. Subjek hukum dalam perjanjian Bersama tersebut antara lain :
- YR (Direktur PT.BM) dan S.G (Legal Advisor PT.BM) bertindak mewakili PT.BM
- T (ketua), S (sekretaris), J (Pimpinan Cabang SPSI LEM), K (Ketua II), D (Bendahara II), D (Ketua I), U (Ketua III) dan DH (Sekretaris I) bertindak mewakili serikat pekerja/serikat buruh
Gugatan tersebut diajukan dengan tuntutan pada pokoknya meminta kepada pengadilan untuk menyatakan Kesepakatan Bersama pada tanggal 2 Oktober 2014 sah menurut hukum dan mengikat bagi Penggugat dan Tergugat, selanjutnya meminta Pengadilan memutuskan PHK antara Para Penggugat dan Tergugat terhitung sejak tanggal 30 April 2016 dan meminta Tergugat untuk membayar hak-hak hukum Penggugat.
Majelis Hakim PHI dalam putusan Nomor 55/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya. dalam pertimbangan putusan tersebut Majelis Hakim menyatakan :
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis Hakim berpendapat demi tertib hukum dan agar tidak terjadi tumpang tindih perkara a quo, maka upaya hukum terhadap Kesepakatan Bersama atau Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan dan telah mempunyai Akta Bukti Pendaftaran, yaitu sebagaimana Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah permohonan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1 A Khusus, bukan dengan gugatan”;
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka terhadap seluruh permohonan petitum gugatan Para Penggugat, dikarenakan seluruh permohonan petitum gugatan Para Penggugat didasarkan pada Kesepakatan Bersama tertanggal 2 Oktober 2014 yang telah didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1 A Khusus dengan Akta Pendaftaran Nomor 1656/BP/2016/PHI/PN.Bdg., Majelis Hakim berpendapat berdasarkan Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, dimana upaya hukum terhadap tidak dilaksanakannya Kesepakatan Bersama tersebut oleh salah satu pihak, adalah permohonan penetapan eksekusi bukan dengan gugatan, maka terhadap seluruh permohonan petitum gugatan Para Penggugat dinyatakan ditolak untuk seluruhnya;”
Para Penggugat kemudian mengajukan kasasi Atas Putusan Nomor 55/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg tersebut. Namun demikian, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 36 K/Pdt.Sus-PHI/2017 menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Penggugat tersebut.
Berdasarkan uraian dalam putusan-putusan tersebut diatas, diperoleh gambaran tentang Perjanjian Bersama dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara lain :
- Suatu Perjanjian Bersama harus dibuat oleh pihak-pihak yang berkompeten sehingga memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata untuk menghindari cacatnya Perjanjian Bersama.
- Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan ke PHI dan telah mempunyai Akta Bukti Pendaftaran memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila salah satu pihak tidak melaksanakan ketentuan dalam Perjanjian Bersama tersebut, maka pihak yang dirugikan bukan mengajukan gugatan ke PHI, melainkan mengajukan permohonan eksekusi ke PHI.