oleh Hardiansyah,S.H.,M.H
Pada kegiatan usaha atau bisnis sering kali kita mendengar adanya kata “Perjanjian atau kontrak” misalnya perjanjian investasi, perjanjian franchise maupun perjanjian utang piutang. Perjanjian atau kontrak tentunya dapat dilakukan oleh subjek hukum baik antar korporasi dengan korporasi atau antar perorangan dengan korporasi maupun antar perorangan dengan perorangan (business to business).
Kepentingan pengaturan perjanjian atau kontrak yakni pertukaran kepentingan antar para pihak yang melakukan perjanjian. Dapat berisi hak dan kewajiban para pihak. Menurut Prof Agus Yudha Hernoko[1], Urgensi pengaturan kontrak dalam praktik bisnis adalah untuk menjamin pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) berlangsung secara proporsional bagi para pihak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan kontraktual yang adil dan saling menguntungkan.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian harus memenuhi unsur: 1) Kesepakatan 2) Kecakapan 3) Suatu Hal tertentu dan 4) suatu sebab yang halal. Maka dengan demikian sepanjang kontrak atau perjanjian yang disepakati telah sesuai dengan maksud para pihak dan tidak bertentang dengan hukum, perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak.
Lalu, apakah kontrak bisnis harus selalu menggunakan Bahasa asing? Dan bagaimana konsekuensi hukum atas kontrak Bisnis tersebut dengan tidak menggunakan terjemahan Bahasa Indonesia?
Keterlibatan para pihak atau subjek hukum didalam perjanjian tentunya harus menjadi perhantian didalam membuat suatu kontrak, misalnya rekan bisnis yang akan melakukan investasi di Indonesia (adanya unsur asing) maka sesuai dengan kesepakatan para pihak dapat memilih menggunakan Bahasa asing didalam kontraknya, hal ini dilakukan tentunya untuk mempermudah para pihak untuk “berkomunikasi hukum” didalam kontrak tentunya memuat kepentinga, hak dan kewajiban para pihak.
Berdasarkan Pasal 31 UU Nomor 23 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Bahasa Kebangsaan menerangkan yakni:
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Serta diatur didalam Pasal 26 Perpes No. 63/ 2019 tentang penggunaan Bahasa Indonesia yakni:
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
(3) Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai padanan atau terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing.
(4) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian.
Maka dengan demikian, perjanjian atau kontrak yang melibatkan unsur asing (perjanjian internasional) berdasarkan ketentuan diatas bersifat wajib menggunakan terjemahan Bahasa Indonesia. Namun aturan tersebut tidak ada konsekuensi hukum bagi pihak yang melakukan perjanjian tidak menggunakan terjemahan Bahasa Indonesia. Perjanjian yang telah disepakati tentunya sah dan mengikat para pihak, serta tidak menyebabkan perjanjian atau kontrak Internasional tersebut menjadi batal demi hukum. Sepanjang para pihak telah menghendaki dan dilaksanakan dengan itikad baik.
Mahkamah Agung Republik Indonesia pun membuat aturan sebagaimana SEMA No. 3 Tahun 2023 Rumusan Kamar Hukum Perdata yang menyatakan “bahwa Lembaga swasta Indonesia dan atau perorangan Indonesia yang mengadakan perjanjian dengan pihak asing dalam Bahasa asing yang tidak disertai terjemahan Bahasa Indonesia tidak dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian, kecuali dapat dibuktikan bahwa ketiadaan terjemahan Bahasa Indonesia karena adanya itikad tidak baik oleh salah satu pihak”.
Terkait dengan Bahasa yang dipilih dan dituangkan didalam kontrak merupakan hak dan sesuai dengan kesepakatan para pihak (didalam kontrak bisnisnya melibatkan unsur asing) untuk menggunakan bahasa asing. Namun jika para pihak yang berkontrak ternyata seluruhnya berkewarganegaraan Indonesia, alangkah baiknya tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini didasari untuk mempermudah komunikasi para pihak didalam kontrak, agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran kontrak dan perselisihan dikemudian hari.
[1] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Jakarta, Kencana, 2009. Hlm 6.