oleh Hardiansyah,S.H.,M.H.
Pada kerangka transaksi bisnis tentunya melibatkan dua pihak atau lebih, dimana satu pihak ada yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi dan pihak lainya berhak atas pemenuhan prestasi yang kesemuanya dituangkan didalam perjanjian atau kontrak. Menurut Prof Subekti Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal[1].
Misalnya si A melakukan Kerjasama usaha tambak udang dengan si B, si A selaku pemilik tambak (pengusaha) dan si B selaku investor. Si B memberikan pinjaman uang sebesar 1 milyar rupiah dengan pembagian keuntungan 50% dari setiap penjualan. Semua kesepakatan dituangan didalam kontrak. Pada proses ini telah terjadi hubungan hukum antara si A dan si B. si A selaku pengelola/ pengusaha berkewajiban untuk menjalankan usaha, berhak atas uang pinjaman 1 milyar rupiah dan memberikan keuntungan pada si B sebesar 50% dari setiap penjualan, dan si B berkewajiban untuk menyerahkan uang pinjaman sebesar 1 milyar dan berhak atas keuntungan tersebut.
Namun pada saat usaha dan kerjasama berlangsung, ternyata usaha merugi dan si A tidak dapat memberikan keuntungan apalagi mengembalikan pinjaman. Tentunya si B akan berupaya meminta si A untuk mengembalikan pinjaman termasuk memaksa si A untuk menyerahkan lahan tambaknya untuk pembayaran ganti rugi. Dengan upaya sedemikian rupa akhirnya terjadinya peralihan lahan tambak tersebut beralih pada si B dengan Akta Jual Beli (AJB) tanpa pernah disepakati nilai lahan tambak tersebut, padahal nilai lahan tambak tersebut sebesar 4 Milyar rupiah. Lalu bagaimana hukum memandangnya? Bagaimana keadilan untuk si A? lalu bagaimana investasi si B?
Pertama, perlu dicermati bahwa berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan untuk syarat sah nya perjanjian yakni 1) adanya Kesepakatan 2) adanya Kecakapan secara hukum 3) objek yang diperjanjikan dan 4) causa yang halal. Jika syarat sahnya perjanjian telah terpenuhi maka kesepakatan bisnis antara si A dan si B pada prinsipnya adalah sah dan mengikat. Perjanjian atau kontrak yang disepakati oleh si A dan si B telah menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana Pasal 1338 KUHPerdata.
Kedua, terhadap adanya peralihan tambak udang dengan berbagai Upaya kemudian beralih pada si B, ini secara hukum dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyalahgunaan keadaan (Misbruik van Omstandigheden) dan akta jual beli (perjanjian) tersebut dapat dibatalkan ke pengadilan (vide Pasal 1266 KUHPerdata).
Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Perkembangan hukum kemudian adanya alasan pembatalan perjanjian karena Penyalahgunaan keadaan (Misbruik van Omstandigheden).
Menurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas[2].
Sedangkan menurut H.P Pangabean menyatakan penyalahgunaan keadaan dikategorikan sebagai kehendak yang cacat, karena lebih sesuai dengan isi dan hakekat penyalahgunaan keadaan itu sendiri, la tidak berhubungan dengan syarat-syarat obyektif perjanjian, melainkan mempengaruhi syarat-syarat subjektif[3].
Van Dunne membedakan penyalahgunaan keadaan karena 1) keunggulan ekonomi, 2) Keunggulan kejiwaan dengan uraian sebagai berikut[4]:
- Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan ekonomi:
- Satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap orang lain.
- Pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian.
- Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan kejiwaan:
- salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak,suami istri, dokter pasien, pendeta jemaat.
- salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan sebagainya.
Sebagaimana pertimbangan hukum perkara Nomor 247/ pdt.g/2017/PN Blb yakni
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka Penggugat telah berhasil mempertahankan dalil gugatannya dan Tergugat I telah terbukti melakukan perbuatan penyalahgunaan keadaan (misbruik van onstandigheden), sehingga bukti P-5 yang bersesuaian dengan bukti T I – 4, P-7 yang bersesuaian dengan bukti T I -6 dan bukti T I- 7 harus dinyatakan batal demi hukum;
Menimbang, bahwa hal tersebut sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia:
- Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3666K/PDT/1992, menyatakan “keadaaan Tergugat yang dalam keadaan kesulitan ekonomi digunakan Penggugat agar melakukan tindakan hukum yang merugikan Tergugat atau menguntungkan Penggugat, Penggugat melakukan perbuatan penyalahgunaan keadaan (misbruik van onstandigheden) dan tindakan hukum yang dilakukan Penggugat dinyatakan batal”;
- Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 275K/PDT/2004 tanggal 25 Agustus 2005, menyatakan “jual beli yang semula didasari utang piutang adalah perjanjian semu, dimana pihak penjual dalam posisi lemah dan terdesak sehingga mengandung penyalahgunaan ekonomi”;
Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses peralihan lahan tambak udang milik A kepada si B dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan keadaan (misbruik van onstandigheden) karena keunggulan ekonomi, si A terpaksa menandatangani AJB dan menyerahkannya pada si B, karena si A terlilit utang investasi. si A dapat mengupayakan pembatalan perjanjian AJB kepada Pengadilan. Karena Akta Jual Beli lahan tambak yang ditandatangani oleh si A selaku pemilik lahan adalah Perjanjian semu, bukan didasari atas kehendak bebas dari si A.
Ketiga, bahwa terhadap adanya uang investasi milik si B sebesar 1 Milyar rupiah, si A tetap berkewajiban untuk mengembalikan uang investasi milik si A sebesar 1 milyar rupiah sesuai dengan kontrak yang disepakati.
Dengan contoh kasus diatas, menerangkan pembatalan perjanjian dengan alasan penyalahgunaan kehendak dapat dilakukan karena adanya hal-hal yang mempengaruhi kehendak bebas seseorang untuk menyatakan sepakat. Kemudian tidak menghilangkan kewajiban seseorang atas kewajibannya untuk memenuhi prestasi atas hak orang lain.
[1] Prof Subekti, Hukum Perjanjian cetakan ke-20, Internusa, Jakarta, 2020, Hlm 1.
[2] Dikutif dari H.P Pangabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai alasan (baru) untuk pembatalan perjanjian,Permata Aksara, Jakarta, 2023, hlm 55
[3] Ibid hlm 56
[4] Ibid