Oleh : Asaad Ahmad, S.H. / Advokat
Belakangan marak perdagangan menggunakan pasar digital. Pasar digital yang ada saat ini umum digunakan seperti Shopee, Bukalapak, Tokopedia, Lazada, dll. Penggunaan pasar digital mempunyai kerentanan sendiri, misalnya adanya kemungkinan hacking, pencurian data, peretasan, dll. Bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi dan bagaimana bisa membuktikannya perlu dicari tahu.
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana di Indonesia yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Dengan demikian, secara limitative KUHAP membatasi alat bukti apa saja yang dapat dipakai di persidangan, dan mengingat zaman dulu ketika KUHAP dibuat belum masuk kepada era digital sehingga alat bukti elektronik belum diperhitungkan oleh pembuat undang-undang. Lalu bagaimana untuk membuktikan kasus-kasus hukum yang menggunakan aturan informasi dan transaski elektronik didalamnya, apakah dengan demikian tidak bisa dibuktikan?
Tenang dulu, meskipun KUHAP secara limitative membatasi alat bukti yang dapat diterima di persidangan, namun demikian Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan perluasan terhadap penggunaan alat bukti yang sah dimuka persidangan. Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Lalu dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Dan dalam Pasal 5 ayat (3) disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Kemudian yang menjadi persoalan, alat bukti elektronik seperti apa yang dapat dipergunakan? Apakah chat di aplikasi ecommerce bisa dijadikan alat bukti dipersidangan?
Untuk itu, agar sebuah informasi digital dapat dipergunakan dipersidangan ada dua syarat yang harus dipenuhi, yakni syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Selain itu, ada syarat materil diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. Digital forensik merupakan aktifitas penyelidikan yang dilakukan untuk menemukan bukti digital yang akan memperkuat atau melemahkan bukti fisik dari kasus yang ditangani. Di Indonesia untuk melakukan digital forensik telah ada Digital Forensic Analyst Team (DFAT) di Puslabfor Bareskrim Mabes Polri.