Oleh : Asaad Ahmad, S.H.
Advokat/Konsultan Hukum
Belum lama ini terjadi sebuah permasalahan hukum yang cukup menyita perhatian publik. Yakni, ada seorang wanita yang diduga melakukan tindak pidana pornografi, dimana dia diduga memperjual belikan konten yang mengandung unsur pornografi disebuah situs. Diduga salah satu pembeli konten tersebut adalah public figure berinisial “M”. Lantas publik menjadi bertanya-tanya apakah seorang pria dewasa yang membeli konten dewasa dapat dipidana? Saya akan coba mengulasnya secara singkat.
Bagaimana pengaturan pornografi di Indonesia?
Di Indonesia pengaturan terkait pornografi diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam kaitannya dengan larangan penyediaan konten pornografi, Pasal 4 ayat (1) UU tersebut berbunyi:
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak.
Oleh karena itu, penyediaan konten dewasa berisi hal-hal yang berbau pornografi menjadi suatu hal yang terlarang di Indonesia. Termasuk kegiatan memperjualbelikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU tersebut.
Bagaimana bila orang dewasa membeli konten pornografi, apakah bisa dipidana?
Sebelum itu perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan jual beli. Berdasarkan KBBI, yang dimaksud dengan jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual. Sedangkan memperjualbelikan adalah menjual dan membeli sesuatu; memperdagangkan.
Dalam hukum perdata, persetujuan saling mengikat disebut juga perikatan dimana dalam hukum perdata perikatan yang menjadi dasar terjadinya peristiwa jual beli adalah perjanjian jual beli. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dimana salah satunya adalah adanya sebab yang halal. Sebab yang halal adalah sebab yang tidak terlarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum sebagaimana termuat dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
Oleh karenanya perbuatan memperjualbelikan konten dewasa yang mengandung unsur pornografi adalah perbuatan melawan hukum bila merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo 1337 KUHPerdata jo Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Namun demikian bisakah orang yang membeli konten pornografi dipidana masih perlu dikaji secara lebih mendalam.
Secara teori, seseorang dapat dipidana tidak hanya karena melanggar undang-undang. Perlu diperhatikan pula mens rea atau niat jahat pada si pelaku. Apakah dalam membeli konten dewasa tersebut ada niat jahat si pelaku untuk misalnya memperluas akses atau menyebarkannya? Atau hanya untuk kebutuhan seksual pribadinya semata? Menurut hemat saya, bila sebatas hanya untuk konsumsi pribadi yang bersangkutan tentu dia tidak dapat dipersalahkan. Namun, bila ternyata si pelaku ternyata memiliki niat untuk menyebarluaskannya tentu akibat hukumnya berbeda.
Hal itu sebagaimana dimuat dalam penjelasan umum UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dimana pada Alinea ketujuh penjelasan umum disebutkan bahwa undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, … dst. dimana undang-undang pornografi lebih menitik beratkan pada pelarangan untuk menyebarluaskan konten pornografi.
Jadi, bagaimana kesimpulannya?
Seperti telah diuraikan secara singkat diatas, perbuatan memperjualbelikan konten dewasa yang mengandung unsur pornografi adalah bertentangan dengan hukum, baik secara pidana maupun perdata. Namun, untuk memidanakan orang karena jual beli yang terlarang tersebut perlu juga memperhatikan niat jahat si pelaku (mens rea), tidak serta merta langsung dipidana ketika melakukan kesalahan. Seperti kita ketahui bahwa asas umum yang berlaku dalam hukum pidana adalah ultimum remedium, atau hukum pidana merupakan upaya terakhir, sehingga pembinaan, pendampingan, pemulihan kesehatan mental bagi orang yang membeli konten pornografi sejatinya lebih diperlukan karena pada dasarnya orang yang mengonsumsi konten pornografi adalah korban dari pornografi itu sendiri.