oleh : Hardiansyah S.H.,M.H.
Advokat dan Mediator
Bagi kaum awam, menghadapi konflik atau sengketa merupakan momok yang menakutkan, sehingga membuat orang sebisa mungkin menghindari atau bahkan mengabaikannya. Padahal dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari konflik atau sengketa misalnya perselisihan atau percekcokan dengan teman kantor, perselisihan di dalam rumah tangga atau perselisihan dengan rekan bisnis.
Konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah percekcokan; perselisihan; pertentangan; dan sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan; pertikaian; perselisihan. Sehingga istilah konflik atau sengketa memiliki makna yang sama yaitu adanya perselisihan, percekcokan yang tentunya akan memiliki akibat.
Konflik terbagi atas dua jenis yaitu konflik biasa dan konflik hukum. Konflik biasa merupakan perselihan yang tidak menimbulkan akibat hukum. Sedangkan konflik hukum yaitu perselihan yang menimbulkan akibat hukum. Konflik biasa juga dapat menjadi konflik hukum, misalnya perselisihan atau perbedaan pendapat dengan rekan kerja, sifat konfliknya adalah konflik biasa, namun jika kemudian perbedaan pendapat tersebut berujung pada penganiayaan/ pemukulan maka konflik biasa tadi akan menjadi konflik hukum, karena terhadap pelaku pemukulan dapat dilakukan pelaporan pidana penganiayaan Pasal 351 KUHP.
Kemudian konflik hukum dengan rekan bisnis. Misalnya si A selaku pengusaha besar mengajak si B untuk berinvestasi di perusahaan miliknya dengan janji akan mendapatkan keuntungan 25% dari dana yang di investasikan dan si B sepakat dan berinvestasi sebesar 1 Milyar rupiah. Kerjasama terus berjalan dengan baik, pada tahun 2020 si A mulai tidak lagi mendapatkan keuntungan 25% karena perusahaan sedang mengalami kerugian akibat pandemi Covid-19. Kemudian si B meminta dikembalikan dana investasinya 1 Milyar dan mengancam apabila tidak dikembalikan akan melaporkan pidana ke kepolisian dan menggugat secara perdata.
Pada konflik hukum sengketa bisnis ini, tentunya kita harus memiliki strategi hukum dalam menghadapinya. Si A selaku pihak yang berhutang harus memiliki “itikad baik” untuk membayar hutang dengan cara mengundang si B untuk melakukan Mediasi. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator (PERMA 1/2016). Mediator disini adalah pihak ketiga yang netral untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa antara para pihak. Mediasi dapat dilakukan di dalam maupun di luar pengadilan. Pada proses mediasi para pihak dapat melakukan Renegosiasi kontrak atau Restrukturisasi hutang, misalnya meminta batas waktu pembayaran atau meminta membayar hutang secara bertahap sehingga tercapailah win-win solution.