oleh : HARDIANSYAH, S.H., M.H.
Setiap insan manusia mengharapkan dalam menjalankan rumah tangga atau perkawinan akan terus langgeng hingga maut memisahkan. Jika merujuk pada UU 1/1974, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun didalam menjalani hubungan perkawinan selalu dilengkapi dengan suka dan duka, persoalan-persoalannya pun terkadang hinga terjadi perceraian.
Perceraian merupakan sesuatu hal yang sangat dibenci oleh Allah SWT kecuali berdasarkan alasan yang sangat darurat. Misalnya rumah tangga jika dipertahankan akan menimbulkan kesusahan dan kesengsaraan yang terus menerus, tiada bertambahnya hari selain bertambahnya kehancuran hati dan pahitnya penderitaan dan kondisi kehidupan yang demikian bisa menimbulkan mudharat lahir dan batin. Yang menyebabkan suami istri tidak dapat hidup rukun lagi.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, Perceraian diajukan oleh Suami maka yang terjadi adalah Cerai Talak. Pemohon perceraian yakni Suami berkewajiban disamping memberikan nafkah anak juga berkewajiban untuk memberikan nafkah iddah terhadap mantan istrinya kecuali nusyuz dan nafkah mutah sesuai dengan kepatutan dan kemampuan suami. Sedangnya jika istri yang mengajukan Cerai Gugat, Istri tidak berhak atas Nafkah iddah maupun Mut`ah.
Ketentuan ini telah direformasi oleh Mahkamah Agung dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan gender dimuka hukum. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan hukum dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 03 Tahun 2018 Hasil Pleno Kamar Agama poin 3. Maka seorang isteri dalam perkara Cerai Gugat dapat diberikan nafkah iddah dan nafkah mut`ah,sepanjang tidak terbukti nusyuz.