Oleh Hardiansyah, S.H., M.H.
Advokat/ Konsultan Hukum
Fenomena pembentukan RUU Cipta Kerja menjadi bahan pembicaraan, diskusi hingga aksi demonstrasi atas kebijakan pemerintah ingin mengubah 80 UU karena terjadinya tumpang tindih (overlapping), disharmonis dan bertentangan satu UU dengan UU yang lain. Pemerintah membuat produk UU dengan menggunakan Metode Omnibus law.
Menurut Jimly Asshiddiqie, Praktik omnibus law sebagai kebiasaan yang terbentuk dalam sistem common law sejak tahun 1937 dapat diterapkan di Indonesia, meskipun Indonesia menganut tradisi sistem civil law. undang-undang Omnibus itu tidak lain merupakan format pembentukan undang-undang yang bersifat menyeluruh dengan turut mengatur materi undang-undang lain yang saling berkaitan dengan substansi yang diatur oleh UU yang diubah atau dibentuk. Dengan format undang-undang Omnibus ini, pembentukan satu undang-undang dilakukan dengan mempertimbangkan semua materi ketentuan yang saling berkaitan langsung ataupun tidak langsung yang diatur dalam pelbagai undang-undang lain secara sekaligus. Dengan demikian, materi suatu undang-undang tidak perlu hanya terpaku dan terbatas hanya hal-hal yang berkaitan langsung dengan judul UU yang bersangkutan sebagaimana dipraktikkan di Indonesia selama ini, melainkan dapat pula menjangkau materi-materi yang terdapat dalam pelbagai undang-undang lain yang dalam implementasinya di lapangan saling terkait langsung ataupun tidak langsung satu dengan yang lain[1].
Pada sistim pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal metode omnibus law (UUPPP). Pemerintah Indonesia menyatakan didalam omnibus law cipta kerja ada 80 undang-undang dan lebih dari 1200 pasal yang akan direvisi sekaligus dengan hanya satu Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur multisektor. Pemerintah menyatakan “perlu 50 tahun waktu untuk jika merevisi undang-undang satu persatu melalui omnibus law penyederhanaan regulasi bisa dipercepat”[2].
Atas pengesahan UU Cipta kerja yang telah disahkan oleh DPR bersama Presiden, ada 12 pengujian UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK), baik atas pengujian formil maupun pengujian materil dari UU Cipta Kerja. MK telah memutus mengabulkan sebagian Pengujian Formil UU Cipta Kerja dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dan MK tidak menerima permohonan lainnya.
Pada Pertimbangan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 sebagaimana yang diuraikan berikut ini:
[3.18.1.8] Mahkamah dapat memahami tujuan penting Menyusun kebijakan strategis penciptaan lapangan pekerjaan berserta pengaturannya, dengan melakukan perubahan dan penyempurnaan UU. Namun yang menjadi persoalan adalah tidaklah dapat dibenarkan dengan mengatasnamakan lamanya waktu membentuk UU maka pembentuk UU menyimpangi tata cara yang telah ditentukan secara baku dan standar demi mencapai tujuan tersebut. Karena dalam suatu negara demokratis konstitusional tidaklah dapat dipisahkan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara yang benar dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini, upaya untuk mencapai tujuan tidak bisa dilakukan dengan melanggar tata cara yang pasti, baku, dan standar dalam proses pembentukan UU.
Masyarakat menilai UU Cipta Kerja ini dibuat dengan serampangan tanpa mempertimbangkan prosedur pembentukan UU, tanpa memenuhi asas keterbukaan serta mengabaikan partisipasi publik/ masyarakat. MK pun menyadari dan mengamini pembentukan UU Cipta Kerja didalam pertimbangan sebagai berikut:
[3.19] Mahmakah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Secara teori hukum cacat formil, misalnya didalam suatu gugatan terdapat cacat formil, maka gugatan tersebut tidak dapat diterima. Dan jika pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan memenuhi cacat formil maka sejatinya secara hukum UU tersebut “batal dan tidak berlaku”.
Didalam pengujian formil UU Cipta Kerja Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja Cacat Formil, namun terhadap akibat hukumnya MK menyatakan:
[3.20.1] Mahmakah dapat memahami persoalan “obesitas regulasi” dan tumpang tindih antar-UU yang menjadi alasan pemerintah menggunakan metode omnibus law yang bertujuan untuk mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti demi mencapai tujuan tersebut kemudian dapat mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku karena antara tujuan dan cara pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dalam meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstituional. Oleh karena telah ternyata terbukti secara hukum adanya ketidakterpenuhannya syarat-syarat tentang tata cara dalam pembentukan UU 11/2020, sementara terdapat pula tujuan besar yang ingin dicapai dengan berlakunya UU 11/2020 serta telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksana dan bahkan telah banyak diimpelementasikan di tataran praktik. Dengan demikian, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, maka berkenaan dengan hal ini, menurut Mahkamah terhadap UU 11/ 2020 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.
MK juga mengenalkan model putusan Inkonstitusional bersyarat (Conditionally Unconstitutional). Putusan model ini merupakan kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat (Conditionally Constitutional) yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Dengan demikian pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK[3].
Mahkamah menilai UU11/2020 inkonstitusional bersyarat karena harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan UU yang harus dipenuhi sebagai syarat formil dan guna mendapatkan UU yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, disamping itu juga harus mempertimbangkan tujuan strategis dibentukan UU 11/ 2020.
Lalu banyak kalangan yang berpandangan, bagaimana pemberlakuan UU Cipta Kerja, apakah masih berlaku atau tidak atau dihentikan sementara?. Penulis akan menguraikan sebagai berikut:
- Mahkamah memberikan kesempatan kepada pembentuk UU untuk memperbaiki UU 11/ 20020 berdasarkan tata cara pembentukan UU yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar didalam membentuk UU Omnibus Law yang juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan UU yang telah ditentukan (vide pertimbangan MK [3.20.2]);
- Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman didalam pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus law. dan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU 11/2020 dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar serta keterpenuhan asas-asas pembentukan UU khususnya berkenaan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna.
- Mahkamah memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UU 11/ 2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini di ucapkan. Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun, UU 11/ 2020 tidak dilakukan perbaikan maka berakibat hukum menjadi Inkonstitusional secara Permanen. (vide pertimbangan MK [3.20.3]).
- Apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk UU tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU 11/ 2020 maka demi kepastian hukum dan menghindari kekosongan hukum maka atas UU atau pasal-pasal atau materi yang telah dicabut atau diubah tersebut harus dinyatakan berlaku. (vide pertimbangan MK [3.20.4]);
- Bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/ 2020 selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU 11/ 2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang berdampak luas dengan berdasarkan pada norma UU 11/ 2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut. (vide pertimbangan MK [3.20.5]);
UU 11/ 2020 diundangkan pada 05 November 2020 mencabut 2 (dua) UU dan merevisi 82 (delapan puluh dua) UU[4]. Sebelum putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang telah diputus pada 25 November 2021. Pemerintah telah menerbitkan lebih dari 50 peraturan pelaksana baik dari Peraturan Pemerintah (PP) maupun Perpres, khususnya pada klaster ketenagakerjaan ada 4 PP diantaranya PP 34/ 2021 tentang Penggunaan TKA, PP 35/ 2021 tentang PKWT dan PHK, PP 36/ 2021 tentang Pengupahan dan PP 37/ 2021 tentang Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Menurut penulis, Peraturan Pelaksana/ PP/ Perpres sebelum Putusan MK diucapkan pada 25 November 2021 masih tetap berlaku, karena MK di dalam putusannya Petitum poin 4 “menyatakan UU 11/ 2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun. Dan jika diperhatikan pertimbangan MK [3.20.3] memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UU 11/ 2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini di ucapkan, serta Putusan MK ini tidak secara tegas membatalkan peraturan pelaksana yang telah diterbitkan.
MK hanya memberi batasan menangguhkan segala tindakan/ kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU 11/ 2020 (petitum poin 7).
Sebagaimana Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 mewajibkan pembentukan UU untuk membuat landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman didalam pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus law dan penerapan asas-asas dalam pembentukan UU, khususnya asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna. Melakukan perbaikan terhadap UU 12/ 2011 dan UU 11/ 2020.
Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 06 Desember 2021 telah menetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang memuat 40 RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2022 didalamnya juga memuat Rancangan UU tentang Perubahan Kedua atas UU No.12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Daftar Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka akibat Putusan Mahkamah Konstitusi RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (DPR/Pemerintah)[5].
Sumber:
[1] https://www.jimlyschool.com/baca/34/uu-omnibus-omnibus-law-penyederhanaan-legislasi-dan-kodifikasi-administratif diakses pada 27 Agustus 2021.
[2] Booklet Kementrian Koordinator Bidang Perekenomian Republik Indonesia, Omnibuslaw Cipta Kerja
[3] Syukri Asy`ari dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian UU (studi putusan 2003-2012). Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komukasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2013
[4] https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/149750/uu-no-11-tahun-2020
[5] https://nasional.kompas.com/read/2021/12/06/21173181/baleg-dpr-tetapkan-40-ruu-prolegnas-prioritas-2022-ini-daftarnya?page=all diakses pada 07 Desember 2021.